Sponsored by

Sarung dan Kaum Sarungan; Pengawal Perdamaian Yang Terlupakan


Di tengah pesatnya perkembangan busana, membicarakan sarung memang terasa kurang menarik. Apalagi selama ini, sarung memiliki kesan tradisional, kampungan dan tidak modern. Pemakainya pun hanya segelintir orang yang hidup di kawasan pedesaan atau pinggiran. Sementara di kota, orang-orang sudah tampil modis dengan celana jeans merk terkini. Namun di balik semua itu, harus diketahui bahwa jika kita berfikir lebih mendalam, ada pesan perdamaian yang dapat kita petik darinya.

Berbicara tentang perdamaian, memang akhir-akhir ini kata itu menjadi begitu langka dan mahal harganya. Nun jauh di timur tengah sana, terjadi konflik antar bangsa. Ribuan warga sipil tak berdosa turut menjadi korban kekejaman serangan militer yang kian membabi buta. Israel-Palestina, teror ISIS, dan perang antar negara datang silih-berganti seolah tak mengenal kata berhenti. Bermacam upaya damai telah dilakukan namun selalu berakhir dengan kebuntuan.

Di Indonesia, sekalipun situasi tampak aman-aman saja, namun benih konflik tak ubahnya api dalam sekam. Disulut sedikit saja, ia akan menjelma si jago merah yang dapat melalap habis kedaulatan bangsa. Isu SARA kerap diangkat ke permukaan guna memanas-manasi sumbu kemarahan di antara para pihak. Hal ini didukung pula oleh kondisi negara kita yang penduduknya terdiri dari beragam latar belakang.

Akhir-akhir ini kita juga menyaksikan berbagai peristiwa yang benar-benar menguji persatuan dan kesatuan negeri ini. Mulai dari rentetan teror bom bunuh diri berkedok jihad, hingga yang terkini, isu penistaan agama yang sampai memicu adanya aksi fenomenal 411. Hal itu menunjukkan bahwa sejatinya rasa nasionalisme warga negara Indonesia masih belum stabil. Masih gampang terprovokasi oleh pihak lain yang suka mengadu domba antar sesama.

Kembali ke soal sarung, ada beberapa ‘ibrah yang dapat kita petik. Disini penulis akan melihatnya dari tiga aspek; pembuatan, bentuk fisik, dan pemakaiannya. Kita semua tahu bahwa sarung terbuat dari kumpulan benang. Benang itu lalu jalin-menjalin dan jadilah satu bentuk kesatuan yang utuh. Benang tersebut lumrahnya berasal dari kapas berwarna putih (lambang kesucian dan ketulusan), lembut dan fleksibel. Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian mesti terlahir dari hati yang suci dan bersih dari sifat egois. Sebab, egoisme hanya akan melahirkan pribadi-pribadi yang merasa diri atau golongannya lebih baik dari yang lain.

Kapas yang telah menjadi benang itu lalu diproses hingga akhirnya berbentuk sarung. Jalinan benang-benang itu menunjukkan bahwa perdamaian akan diperoleh apabila terbentuk persatuan yang kuat antar elemen yang ada. Mustahil kita bisa hidup damai bila masih ada perpecahan. Sejarah telah membuktikan bahwa sebab persatuan itulah negeri ini bisa lepas dari jerat penjajah.

Secara fisik, sarung memanglah sederhana. Sejak dulu bentuknya selalu sama. Keistimewaannya terletak pada variasi warna atau motif  yang ada padanya. Sarung memiliki warna yang bermacam-macam. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi norak. Justru warna-warna tersebutlah yang membentuk suatu harmoni yang indah.

Dari sini kita menjadi tahu bahwa sejatinya keindahan muncul dari adanya perbedaan. Berbeda itu adalah suatu fitrah sebab masing-masing orang memiliki latar belakang, pemikiran, dan selera yang berbeda. Kita tak bisa memaksa orang lain untuk satu pendapat. Perbedaan itu mestinya menjadi khazanah pengetahuan agar tidak sempit dalam berpikir. Transformasi dari perbedaan menjadi keindahan akan terwujud bila terdapat rasa toleransi serta saling memahami antar sesama.

Sebab persatuan dari beragam benang dan warna inilah yang kemudian membuat sarung cocok dipakai dalam segala situasi. Sarung juga bisa dipakai oleh siapa saja tanpa memandang status sosial. Kemampuan ini tentu menjadi kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh model busana lain.

Mayoritas masyarakat memakainya dengan cara menempelkannya ke dada lalu menggulungnya ke bawah sampai setara pusar. Namun bagi peronda, sarung kerap dijadikan selendang. Ada juga yang menjadikannya ikat pinggang. Penutup muka atau topeng penjahat dapat pula dibuat dari sarung. Pedagang–pedagang sapi di Madurapun biasa mengenakan sarung waktu ke pasar, tapi cara pakainya beda. Mereka membiarkan bagian bawahnya sampai ke atas betis. Begitulah cara orang mengenakan sarung.

Tak hanya untuk dipakai, sarung juga bisa dijadikan selimut bila kedinginan. Jika sobek ia masih bisa dijahit. Atau toh jika rusak sekalipun, kita masih bisa menggunakannya untuk keperluan lain. Dijadikan alas, pel lantai, serta bermacam keperluan lainnya. Sarung menjadi betul-betuol multi

Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa apabila kita sudah bisa berdamai dan bersatu, semua persoalan akan mudah diatasi. Beragam masalah yang terjadi selama ini salah satu penyebabnya adalah kurangnya persatuan. Kita masih meributkan perbedaan yang ada tanpa berpikir untuk menarik hikmah dibalik semua itu. Padahal terkadang, riak-riak konflik tersebut timbul dari orang yang berada di luar kita. Contoh kecilnya adalah kasus terorisme yang pelakunya dididik dan dibiayai oleh jaringan teroris internasional.

Energi positif pesan-pesan perdamaian yang terdapat pada sarung itu juga berakibat pada pemakainya. Di Indonesia, pemakai sarung didominasi oleh para santri dan kyai. Mereka biasa disebut kaum sarungan. Dalam praktiknya, telah banyak jasa yang mereka torehkan dalam rangka menjaga kesatuan negeri ini.

Uniknya lagi, mereka tidak hanya bergerak di tataran wacana. Aktivitas keseharian mereka sudah menggambarkan nilai persatuan dan perdamaian itu sendiri. Pesantren tempat mereka tinggal telah banyak mengajarkan indahnya kebersamaan sekalipun berada ditengah perbedaan. Ajaran tentang kebersamaan itu seakan sudah membumi tanpa harus disuarakan lewat forum-forum resmi.

Tidak hanya sewaktu di pesantren, tren positif itu juga dibawa sampai mereka terjun ke masyarakat. Tak heran jika kemudian dalam deretan para tokoh yang mendapat gelar pahlawan nasional, di antara mereka ada yang berstatus kyai atau santri. Jasa-jasa mereka cukup besar dalam menjaga persatuan negeri ini. Beberapa pertempuran melawan penjajah rata-rata dimotori oleh para kyai beserta santri-santrinya. Kemerdekaan Indonesia pun juga tak lepas dari peran kaum sarungan ini.
Namun sayang, peran mereka tak tercatat dalam buku-buku sejarah. Kaum sarungan seolah dianggap tak memiliki peran untuk mengawal perdamaian di negeri ini. Bahkan pesantren pernah dicap sebagai sarang teroris oleh mereka yang telah lupa dengan sejarah negerinya sendiri. Namun untunglah pemerintah telah  menetapkan Hari Santri setiap tanggal 22 Oktober. Setidaknya, dari sanalah kita bisa tahu betapa besar perjuangan santri dan kyai untuk negara kesatuan ini.

Namun sayang, sekalipun kaum sarungan telah mulai diperhatikan kiprahnya oleh pemerintah, sarung tetap termarginalkan. Orang-orang masih merasa malu mengenakan sarung. Sarung hanya sebatas dipakai waktu salat, selebihnya ia mungkin hanya akan teronggok begitu saja di sudut kamar atau dalam lemari. Jika situasi ini dibiarkan, lambat laun sarung akan menjadi asing. Untuk itu, perlu kiranya pemerintah membuatkan perayaan khusus untuk sarung sebagaimana halnya santri atau batik. Jika Hari Santri dan Hari Batik saja dirayakan, mengapa Hari Sarung tidak? 


NB : Tulisan ini menjadi nominator 30 besar dalam lomba essay CSS MoRA 2016

Comments

  1. Replies
    1. Ke rumah gan. kalo di anterin nanti ada ongklirnya

      Delete
  2. Mampir gan di blog ane yah : tentangprodukgoogle .blogspot .com ...terimakasih bnyak sbelumnya.. Salam satu saudara..

    ReplyDelete
  3. Iya betul, jangan cuma beli hp android saja, adakalanya kita harus beli sarung juga hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pancasila Yang Saya Tahu

Menanti Taji Suara Ulama