Menanti Taji Suara Ulama
Pilkada serentak kini digelar lagi,
dan seperti biasa ia selalu menyajikan sisi menarik untuk diperbincangkan. Setelah
tahun lalu kita disuguhi berbagai kegaduhan dalam Pilkada di Jakarta, kali ini
hal yang sama bakal terjadi Jawa Timur. Memang konteksnya sedikit berbeda
karena semua pasangan calon sama-sama muslim. Kisruh penistaan agama dan isu
SARA hanya kemungkinan kecil atau bahkan tidak akan terjadi. Tapi bagaimanapun
politik memang selalu gurih untuk dibicarakan.
Dalam konstelasi politik Indonesia,
Jawa Timur memang mendapat perhatian penting. Ia menjadi tolok ukur perolehan
suara nasional. Sejarah juga mencatat bahwa pilkada Jatim selalu berakhir dengan
sengketa. Dengan kondisi yang demikian, maka wajar saja bila sejak dini
pasangan calon maupun partai pengusung telah melakukan pemanasan. Penggalangan
dukungan secara massif dilakukan dengan melakukan pendekatan ke berbagai pihak,
salah satunya dengan para ulama.
Mulai saat ini, dukungan dari para
ulama sudah mulai terdengar dan menjadi pemberitaan dalam banyak media. Banyak
tokoh agama yang telah mendeklarasikan dukungannya kepada salah satu pasangan
calon, baik secara perorangan maupun kelompok. Tentu tak ada yang salah dengan
hal ini. Di mata konstitusi, ulama juga memiliki hak politik yang sama dengan
rakyat untuk memilih dan dipilih. Dukungan mereka juga merupakan pertanda baik
dan restu yang memang selalu dicari oleh banyak orang tiap memulai usaha.
Selain itu, magnet kharisma dari
seorang ulama juga membawa berkah tersendiri bagi pasangan calon. Sebagaimana kita
tahu, status sosial ulama atau kyai sangatlah tinggi di mata masyarakat. Selain
mereka yang pernah jadi santri atau belajar langsung, banyak orang yang tunduk
patuh terhadap dawuhnya, termasuk dalam hal pilihan politik. Maka
dari itu, tak heran bila tiap kali pemilihan, ada banyak calon atau petugas
partai yang sowan meminta restu dan dukungan kepada tokoh agama
panutannya.
Meskipun demikian, tak selamanya suara
dukungan dari para ulama ataupun kyai berbanding lurus dengan kesuksesan pihak
yang diusungnya. Tak sedikit tokoh politik yang kandas di medan pertempuran
sekalipun telah di-back-up dan bergelar tokoh agama. Kejadian seperti ini sudah marak terjadi di
berbagai tempat dan bermacam pemilihan. Kita pun memaklumi kejadian ini dengan
dalih bahwa ada perbedaan pendapat dan selera dukungan antara golongan ulama
dan masyarakat awam dalam memilih pemimpin.
Akan tetapi, untuk Jawa Timur, saya
rasa kejadian di atas tak perlu terjadi. Masyarakat Jawa Timur terkenal religius.
Sejak dahulu, di sini adalah lumbung yang telah melahirkan para ulama dan tokoh
agama. Wali Sembilan yang merupakan penyebar ajaran Islam pertama kali banyak
yang tinggil di provinsi ini. Pada periode selanjutnya, lahirlah ulama sekelas
Syaikhona Khalil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Sansuri, dan KH.
As’ad Syamsul Arifin yang namanya telah terukir rapi dalam sejarah perjuangan
meraih kemerdekaan bangsa.
Tak cukup di situ, kesan religius
juga dapat dilihat dari banyaknya pesantren, madrasah, ataupun langgar tempat
mengaji al-Qur’an yang diasuh oleh para kyai. Lembaga pendidikan seperti ini
sejak dulu selalu mengajarkan kepatuhan kepada guru. Terhedap mereka (guru, kyai
atau ulama), masyarakat akan selalu menghormati dalam segala hal, salahsatunya
dengan mematuhi apa yang diucapkan. Sebab mereka adalah orang tua kedua yang
telah menularkan ilmu pengetahuan yang dimiliki tanpa pamrih.
Pilkada Jawa Timur bagi saya adalah
pertaruhan nama besar para ulama. Di luar keberuntungan dan faktor X lainnya,
bila hasil pemilihan nanti berpihak pada calon yang mayoritas didukung para
ulama dan kyai, itu artinya kepatuhan masyarakat terhadap mereka masih ada.
Namun kalau hasilnya ternyata berbeda, maka jangan heran bila akan lahir sebuah
kesimpulan bahwa: suara ulama tak lagi bertaji.
Comments
Post a Comment