Sponsored by

Menanti Taji Suara Ulama



suara ulama pilgub jatim 2018
Pilkada serentak kini digelar lagi, dan seperti biasa ia selalu menyajikan sisi menarik untuk diperbincangkan. Setelah tahun lalu kita disuguhi berbagai kegaduhan dalam Pilkada di Jakarta, kali ini hal yang sama bakal terjadi Jawa Timur. Memang konteksnya sedikit berbeda karena semua pasangan calon sama-sama muslim. Kisruh penistaan agama dan isu SARA hanya kemungkinan kecil atau bahkan tidak akan terjadi. Tapi bagaimanapun politik memang selalu gurih untuk dibicarakan.

Dalam konstelasi politik Indonesia, Jawa Timur memang mendapat perhatian penting. Ia menjadi tolok ukur perolehan suara nasional. Sejarah juga mencatat bahwa pilkada Jatim selalu berakhir dengan sengketa. Dengan kondisi yang demikian, maka wajar saja bila sejak dini pasangan calon maupun partai pengusung telah melakukan pemanasan. Penggalangan dukungan secara massif dilakukan dengan melakukan pendekatan ke berbagai pihak, salah satunya dengan para ulama.

Mulai saat ini, dukungan dari para ulama sudah mulai terdengar dan menjadi pemberitaan dalam banyak media. Banyak tokoh agama yang telah mendeklarasikan dukungannya kepada salah satu pasangan calon, baik secara perorangan maupun kelompok. Tentu tak ada yang salah dengan hal ini. Di mata konstitusi, ulama juga memiliki hak politik yang sama dengan rakyat untuk memilih dan dipilih. Dukungan mereka juga merupakan pertanda baik dan restu yang memang selalu dicari oleh banyak orang tiap memulai usaha.

Selain itu, magnet kharisma dari seorang ulama juga membawa berkah tersendiri bagi pasangan calon. Sebagaimana kita tahu, status sosial ulama atau kyai sangatlah tinggi di mata masyarakat. Selain mereka yang pernah jadi santri atau belajar langsung, banyak orang yang tunduk patuh terhadap dawuhnya, termasuk dalam hal pilihan politik. Maka dari itu, tak heran bila tiap kali pemilihan, ada banyak calon atau petugas partai yang sowan meminta restu dan dukungan kepada tokoh agama panutannya.  

Meskipun demikian, tak selamanya suara dukungan dari para ulama ataupun kyai berbanding lurus dengan kesuksesan pihak yang diusungnya. Tak sedikit tokoh politik yang kandas di medan pertempuran sekalipun telah di-back-up dan bergelar tokoh agama.  Kejadian seperti ini sudah marak terjadi di berbagai tempat dan bermacam pemilihan. Kita pun memaklumi kejadian ini dengan dalih bahwa ada perbedaan pendapat dan selera dukungan antara golongan ulama dan masyarakat awam dalam memilih pemimpin.

Akan tetapi, untuk Jawa Timur, saya rasa kejadian di atas tak perlu terjadi. Masyarakat Jawa Timur terkenal religius. Sejak dahulu, di sini adalah lumbung yang telah melahirkan para ulama dan tokoh agama. Wali Sembilan yang merupakan penyebar ajaran Islam pertama kali banyak yang tinggil di provinsi ini. Pada periode selanjutnya, lahirlah ulama sekelas Syaikhona Khalil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Sansuri, dan KH. As’ad Syamsul Arifin yang namanya telah terukir rapi dalam sejarah perjuangan meraih kemerdekaan bangsa.

Tak cukup di situ, kesan religius juga dapat dilihat dari banyaknya pesantren, madrasah, ataupun langgar tempat mengaji al-Qur’an yang diasuh oleh para kyai. Lembaga pendidikan seperti ini sejak dulu selalu mengajarkan kepatuhan kepada guru. Terhedap mereka (guru, kyai atau ulama), masyarakat akan selalu menghormati dalam segala hal, salahsatunya dengan mematuhi apa yang diucapkan. Sebab mereka adalah orang tua kedua yang telah menularkan ilmu pengetahuan yang dimiliki tanpa pamrih.

Pilkada Jawa Timur bagi saya adalah pertaruhan nama besar para ulama. Di luar keberuntungan dan faktor X lainnya, bila hasil pemilihan nanti berpihak pada calon yang mayoritas didukung para ulama dan kyai, itu artinya kepatuhan masyarakat terhadap mereka masih ada. Namun kalau hasilnya ternyata berbeda, maka jangan heran bila akan lahir sebuah kesimpulan bahwa: suara ulama tak lagi bertaji.
                 

Comments

Popular posts from this blog

Pancasila Yang Saya Tahu